Aturan Batu Bara Tabrak UU PPN, Negara Berpotensi Rugi Rp25 Triliun per Tahun

Jakarta, kaltimnow.id – Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai terdapat konflik regulasi antara Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) terkait perubahan status batu bara menjadi Barang Kena Pajak (BKP). Menurutnya, ketentuan baru tersebut bukan hanya menimbulkan persoalan hukum, tetapi juga melemahkan penerimaan negara.

Fajry menjelaskan, UU Ciptaker memasukkan batu bara sebagai BKP, sementara dalam Pasal 4A huruf (a) UU PPN disebutkan bahwa barang hasil pertambangan langsung dari sumbernya justru dikecualikan dari PPN.

“Ketentuan dalam UU Ciptaker tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam UU PPN,” ujarnya, Rabu (10/12/2025).

Ia memaparkan bahwa perubahan ini membuat perusahaan tambang dapat mengkreditkan pajak masukan yang besar, terutama dari pembelian alat berat. Namun, penjualan batu bara mayoritas diekspor dan dikenai tarif PPN 0 persen. Akibatnya, perusahaan bisa mengajukan restitusi karena pajak masukan lebih besar dibanding pajak keluarannya.

“Satu sisi dia dapat mengkreditkan pajak masukan, namun di sisi lain penjualannya kena tarif nol persen. Ini kemudian yang menyebabkan penerimaan negara menjadi berkurang, atau dianggap menjebol penerimaan negara,” jelasnya.

Menurut Fajry, kebijakan tersebut tidak berasal dari Kementerian Keuangan. “Sepengetahuan saya, memang usulan itu bukan dari Kemenkeu. Jadi, pihak Kemenkeu sendiri agak kaget dengan adanya ketentuan tersebut dalam UU Cipta Kerja,” katanya.

Untuk menutup potensi kerugian itu, ia mendukung rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menaikkan tarif bea keluar batu bara.

“Setelah kebobolan dalam UU Ciptaker, kini ‘Remontada’ melalui kenaikan tarif bea keluar atas produk batu bara,” ujar Fajry.

Selain memperbaiki penerimaan negara, bea keluar yang lebih tinggi juga dianggap perlu sebagai kompensasi atas dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan, sekaligus mendorong perubahan struktur ekonomi ke sektor padat karya.

“Pertambangan ini padat modal bukan padat karya. Ini kemudian yang menyebabkan Gen Z sulit mencari kerja,” tambahnya.

Namun, ia mengingatkan adanya risiko peningkatan penyelundupan jika tarif bea dinaikkan. “Ada kenaikan insentif bagi pelaku usaha untuk melakukan penyelundupan. Namun, ini sesuai dengan rencana Pak Purbaya yang ingin mengalakkan atau bersih-bersih di kepabeanan,” imbuhnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya menyatakan bahwa restitusi akibat kebijakan batu bara sebagai BKP bisa mencapai Rp25 triliun per tahun, angka yang dinilai membebani fiskal negara.

“Net income kita dari industri batu bara bukan positif… malah jadi negatif,” tegasnya. (Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *