Pernyataan di Medsos Tuai Kontroversi, AG Dipanggil BK DPRD Kaltim

Samarinda, Kaltimnow.id – Pernyataan anggota DPRD Kalimantan Timur berinisial AG di media sosial berbuntut panjang. Unggahannya yang dinilai menyinggung isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) menuai kritik publik dan mendorong Badan Kehormatan (BK) DPRD Kaltim mengambil langkah tegas.

BK resmi menjadwalkan pemanggilan terhadap AG pada Rabu, 15 Oktober 2025, guna meminta klarifikasi langsung atas pernyataan yang sempat viral di jagat maya itu.

Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, menegaskan bahwa pemanggilan ini merupakan bentuk tanggung jawab lembaga dalam menjaga etika politik dan marwah dewan di mata publik.

“Kami ingin mendengar langsung penjelasannya. Ini bagian dari proses etik, bukan sekadar formalitas,” ujar Subandi kepada wartawan di Samarinda, Senin (13/10/2025).

Menurut Subandi, pihaknya menerima lebih dari satu laporan masyarakat yang menilai pernyataan AG tidak layak diucapkan oleh pejabat publik. Meskipun belum ada pelanggaran etik yang terverifikasi, BK menilai gaya komunikasi AG di media sosial berpotensi memecah opini publik serta menurunkan kepercayaan terhadap lembaga legislatif.

“Ucapan anggota dewan bukan sekadar pendapat pribadi. Ada institusi dan tanggung jawab moral di balik jabatan itu,” tegasnya.

Seorang sumber internal BK mengungkapkan, pemanggilan AG merupakan tindak lanjut atas laporan terkait konten video dan komentar bernada provokatif. Dalam salah satu unggahannya, AG menyinggung soal dugaan penyebaran data pribadi (doxing) oleh pihak eksternal. Namun pernyataannya kemudian melebar hingga menyentuh aspek asal-usul daerah seseorang, yang memicu gelombang kritik.

BK memastikan proses klarifikasi akan dilakukan secara tertutup untuk menjaga objektivitas, namun hasil sidang etik akan diumumkan kepada publik setelah keputusan final ditetapkan.

Langkah ini disebut sebagai upaya “pemulihan etika publik”, di tengah meningkatnya sensitivitas masyarakat terhadap ujaran yang bersinggungan dengan isu identitas dan diskriminasi.

“Ini bukan hanya tentang individu AG, tetapi tentang bagaimana DPRD menjaga kehormatan lembaganya,” kata Subandi menambahkan.

Dalam dua tahun terakhir, sejumlah pejabat publik di berbagai daerah juga sempat disorot akibat pernyataan serupa di media sosial. Fenomena ini menjadi pengingat bahwa kebebasan berpendapat di ruang digital tetap harus diiringi dengan tanggung jawab moral dan kesadaran etik.

“Kami tidak melarang politisi bersuara di media sosial. Tapi setiap kata yang keluar harus mencerminkan integritas dan tanggung jawab,” pungkas Subandi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *