Samarinda, Kaltimnow.id – Tren kerja sama antardaerah di Kalimantan Timur (Kaltim) sepanjang 2025 mencatat lonjakan historis. Hingga 18 November 2025, terdapat 208 Perjanjian Kerja Sama (PKS), melampaui lebih dari dua kali lipat rata-rata tahun sebelumnya yang tak pernah menembus 100 PKS.
Lonjakan ini tidak hanya mencerminkan kebutuhan daerah, tetapi juga dipicu oleh komitmen Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim dalam memperluas akses Program Pendidikan Gratispol.
Kepala Biro Pengelolaan Organisasi dan Tata Laksana (POD) Setda Kaltim, Siti Sugiyanti, menyampaikan bahwa peningkatan kerja sama tersebut meliputi berbagai sektor layanan publik—mulai dari administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan, hingga layanan dasar lain yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.
“Dari sebelumnya di bawah 100, sekarang sudah 208 kerja sama. Ini peningkatan lebih dari 100 persen. Artinya ada kebutuhan mendesak bagi daerah untuk saling mendukung dan memperkuat pelayanan,” ujar Sugiyanti.
Ia menjelaskan bahwa lonjakan tersebut erat dikaitkan dengan kebijakan strategis Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim dalam memperluas cakupan Program Gratispol.
“Program ini mencakup pembiayaan pendidikan mulai dari SMA/SMK hingga jenjang S1, S2, dan S3,” ungkapnya.
Karena pendidikan tinggi bukan merupakan kewenangan penuh pemerintah provinsi, kerja sama dengan universitas, lembaga pendidikan, dan kementerian terkait menjadi faktor kunci dalam menjalankan program ini.
“Kerja sama dengan kampus dan kementerian menjadi bagian dari lonjakan ini. Ini penting untuk mendukung pelaksanaan Gratispol bagi warga Kaltim, memastikan anak-anak daerah mendapat akses pendidikan tinggi yang menyeluruh dan merata,” jelasnya.
Kolaborasi di sektor pendidikan memungkinkan Pemprov Kaltim melakukan pembiayaan pendidikan melampaui batas kewenangan formal, sehingga manfaat Gratispol dapat langsung dirasakan ribuan mahasiswa di seluruh Kaltim.
Meski bangga dengan capaian tersebut, Sugiyanti menegaskan bahwa Biro POD tidak berhenti pada angka, namun juga mengurai persoalan klasik yang kerap menghambat optimalisasi PKS.
Beberapa hambatan yang masih sering muncul antara lain isu pertanahan, batas wilayah, hingga keberlanjutan implementasi kerja sama yang terkadang hanya berhenti di tahap penandatanganan.
“Kami memastikan kerja sama tidak hanya ditandatangani, tapi benar-benar berjalan dan dieksekusi di lapangan. Kami ingin melihat celah-celah yang belum tergarap dan memperkuat koordinasi antarpihak,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya akuntabilitas implementasi sebagai kunci keberhasilan.
Menurutnya, lonjakan jumlah PKS ini adalah indikator nyata bahwa kolaborasi bukan lagi sekadar formalitas administratif, melainkan kebutuhan riil di lapangan. Dengan semakin banyak daerah saling mendukung, layanan publik dapat diberikan lebih cepat, lebih dekat, dan lebih responsif.
“Kenaikan ini menegaskan bahwa kolaborasi adalah kebutuhan. Masyarakat langsung merasakan manfaatnya. Harapannya kerja sama ini terus diperluas dan diperkuat, menjadi landasan utama pembangunan Kaltim yang inklusif,” tutupnya. (ADV Kominfo Kaltim/Tia)






