Jakarta, Kaltimnow.id – Gelombang aksi demonstrasi berlangsung di berbagai kota Indonesia, termasuk pusat pemerintahan di Jakarta, sejak akhir Agustus lalu. Aksi awal yang dipicu protes kenaikan gaji dan tunjangan DPR RI, makin meluas setelah tragedi tewasnya pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan, yang dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob saat pengamanan unjuk rasa, Kamis (28/8) malam.
Respons Pemerintah dan DPR
Kekisruhan yang menelan korban jiwa itu akhirnya memaksa pimpinan DPR hingga Presiden RI Prabowo Subianto turun tangan merespons gelombang unjuk rasa 25–31 Agustus.
Prabowo bersama pimpinan partai politik dan pimpinan DPR berjanji menghentikan tunjangan rumah anggota dewan serta membuka ruang dialog untuk mendengarkan aspirasi masyarakat.
Namun, pengamat menilai langkah itu telat dan minim empati, sebab publik sudah lebih dulu kecewa atas sikap DPR yang dinilai abai terhadap keresahan rakyat.
Kinerja DPR Dipertanyakan
Lembaga Indonesian Parliamentary Center (IPC) menyoroti rendahnya kualitas keterbukaan informasi DPR sejak dilantik Oktober 2024.
Peneliti IPC, Ahmad Hanafi, menyebut sepanjang 2025 terdapat 731 agenda rapat DPR, namun hasilnya minim keterbukaan, dari laporan singkat hanya tersedia pada 79,8% rapat, risalah rapat hanya 25%, sebagian rapat bahkan tanpa catatan publik.
Selain itu, jumlah rapat tertutup juga mencapai 25,9% selama masa sidang kedua hingga keempat.
“Rendahnya kualitas keterbukaan ini mempersempit ruang partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal legislasi, anggaran, maupun fungsi pengawasan,” kata Hanafi, Rabu (3/9).
RUU Mandek dan Persepsi Publik
Sejumlah RUU penting justru mandek, seperti RUU Perampasan Aset, RUU Masyarakat Adat, dan RUU PPRT. Sebaliknya, DPR mempercepat pembahasan RUU yang dinilai tidak urgen, misalnya RUU BUMN, RUU TNI, dan RUU Minerba.
“Hal ini memperkuat persepsi bahwa legislasi DPR lebih sering melegitimasi agenda pemerintah ketimbang menampung aspirasi publik,” ujar Hanafi.
Jurang Ketidakpercayaan Masyarakat
Dalam siaran pers 2 September, IPC menyebut pemicu utama gelombang demo adalah kenaikan gaji dan tunjangan DPR yang mencapai ratusan juta rupiah per anggota, di tengah kondisi sosial ekonomi yang rapuh.
Kemiskinan Mei 2025: 8,47% atau 23,85 juta orang.
Pengangguran terbuka: 4,76% (BPS, 2025).
Gaji DPR: setara 27 kali lipat UMR rata-rata Indonesia.
“Jurang ketidakpercayaan publik makin dalam karena kinerja DPR tidak memuaskan,” tegas Hanafi.
Usulan Perbaikan IPC
IPC mengajukan sejumlah perbaikan untuk mengembalikan kepercayaan publik:
Recall anggota DPR oleh konstituen dapil jika kinerja tidak memuaskan.
Transparansi dokumen rapat DPR agar publik bisa mengawal legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Penguatan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk memantau perilaku anggota DPR, baik di rapat maupun di luar rapat. (Ant)