Jakarta, Kaltimnow.id – Fenomena pengibaran bendera putih di sejumlah wilayah Aceh pascabencana banjir bandang dan tanah longsor memicu sorotan tajam dari organisasi hak asasi manusia. Amnesty International Indonesia menilai aksi tersebut sebagai simbol keputusasaan warga sekaligus kritik keras terhadap lambannya penanganan bantuan bagi korban bencana ekologis di Pulau Sumatra.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pengibaran bendera putih yang terjadi di Aceh Tamiang, Bireuen, hingga Banda Aceh merupakan suara rakyat yang terdesak oleh situasi darurat kemanusiaan.
“Pengibaran bendera putih yang marak di Aceh adalah wujud suara rakyat. Bagi ribuan warga yang terkepung lumpur dan kelaparan, bendera putih itu adalah wujud kekecewaan mereka atas kegagalan negara bertindak sigap dan cepat,” ujar Usman dalam pernyataannya.
Menurutnya, bencana ekologis yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah berlangsung lebih dari tiga pekan dengan dampak yang kian meluas. Kondisi ini, kata Usman, menjadi tamparan bagi klaim pemerintah pusat yang menyebut situasi masih terkendali.
Amnesty International juga mengkritik sikap pemerintah yang menolak bantuan internasional serta belum menetapkan status Bencana Nasional. Usman menilai kebijakan tersebut bermasalah dari perspektif hak asasi manusia, mengingat jumlah korban jiwa telah melampaui seribu orang, ratusan ribu warga mengungsi, serta infrastruktur dasar lumpuh di banyak wilayah.
“Argumen soal kemandirian negara menjadi tidak relevan ketika warga negara dibiarkan menderita. Negara terikat kewajiban internasional untuk melindungi hak hidup dan menjamin standar hidup layak, termasuk pangan dan kesehatan,” tegasnya.
Ia menambahkan, ketika kapasitas nasional terbukti tidak memadai—ditandai dengan distribusi logistik yang gagal menjangkau wilayah terisolasi selama berminggu-minggu—penolakan terhadap bantuan asing berpotensi menjadi bentuk kelalaian negara dalam memenuhi kewajiban HAM.
Usman juga mengingatkan pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan sejarah seperti yang terjadi di Myanmar saat Badai Nargis 2008, ketika bantuan internasional diblokir atas nama kedaulatan dan berujung pada jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar.
“Jika bantuan tersendat, menutup pintu bagi pihak yang ingin menolong adalah tindakan yang tidak manusiawi,” katanya.
Amnesty menekankan bahwa bantuan harus disalurkan secara adil dan efektif, serta memastikan para pengungsi memperoleh kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pangan, air bersih, dan layanan kesehatan. Oleh karena itu, desakan agar pemerintah segera menetapkan status Bencana Nasional dan membuka akses bantuan internasional dinilai sebagai tuntutan kemanusiaan yang mendesak.
“Bendera putih di Aceh adalah ultimatum dari rakyat. Pemerintah harus segera memobilisasi seluruh sumber daya, baik domestik maupun global,” ujar Usman.
Fenomena pengibaran bendera putih sendiri diakui meluas di berbagai daerah terdampak bencana di Aceh, termasuk Aceh Utara, Pidie Jaya, hingga Banda Aceh. Gubernur Aceh Muzakir Manaf menilai aksi tersebut sebagai bentuk solidaritas dan permintaan pertolongan agar mendapat perhatian nasional maupun internasional.
Di sisi lain, warga terdampak mengaku kehabisan daya dan menilai penanganan bencana berjalan lamban. Hampir tiga pekan sejak banjir melanda, bantuan dinilai belum mencukupi di banyak lokasi.
Sementara itu, pemerintah pusat tetap menyatakan Indonesia belum membutuhkan bantuan internasional. Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 15 Desember 2025 menegaskan tidak menetapkan bencana di Sumatra sebagai bencana nasional karena dianggap masih terkendali, sekaligus menolak tawaran bantuan dari negara sahabat.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 19 Desember 2025 mencatat bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah menewaskan 1.072 orang, melukai sekitar 7.000 orang, dengan 186 orang masih dinyatakan hilang. Selain itu, lebih dari 147 ribu rumah dilaporkan rusak dan sedikitnya 111 ribu warga terpaksa mengungsi. (Ant)












