Jakarta, Kaltimnow.id – Pimpinan Ombudsman Republik Indonesia, Robert Na Endi Jaweng, menyatakan dukungan terhadap rencana pemerintah melakukan pemutihan tunggakan iuran BPJS Kesehatan. Ia menilai kebijakan tersebut bukan sekadar penghapusan beban administrasi, melainkan bagian dari upaya mengembalikan esensi jaminan sosial sebagai bentuk pelayanan publik yang berlandaskan nilai kemanusiaan, inklusivitas, dan keadilan sosial.
“Di tengah dinamika ekonomi saat ini, kita perlu mengapresiasi kebijakan penghapusan tunggakan BPJS Kesehatan. Langkah ini menunjukkan bahwa jaminan sosial bukan hanya kewajiban finansial, melainkan hak konstitusional setiap warga negara,” ujar Robert di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Senin (13/10/2025).
Robert menjelaskan, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Pasal 42 memang sudah mengatur mekanisme penyelesaian tunggakan iuran. Namun, menurutnya, pemerintah tetap perlu menyiapkan aturan teknis yang lebih rinci dan terukur agar kebijakan pemutihan tidak menyimpang dari prosedur yang berlaku.
Robert menegaskan bahwa pemerintah perlu merumuskan sistem pemutihan tunggakan yang berkeadilan dan transparan. Ia menilai penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa peserta yang menerima penghapusan tunggakan benar-benar termasuk kelompok yang berhak.
“Keadilan sosial harus dijaga. Peserta yang selama ini rutin membayar iuran tidak boleh merasa dirugikan oleh kebijakan ini,” tegasnya.
Ombudsman juga mendorong BPJS Kesehatan agar lebih akuntabel dan proaktif dalam memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya terkait status kepesertaan. Menurut Robert, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) perlu dimanfaatkan secara optimal untuk memastikan kebijakan pemutihan tepat sasaran, terutama bagi peserta non-PBI (non-penerima bantuan iuran) yang menghadapi kesulitan ekonomi.
Ia juga menyoroti data terbaru yang menunjukkan sekitar 56,8 juta peserta BPJS Kesehatan saat ini berstatus tidak aktif. Kondisi ini, kata Robert, sebagian besar terjadi karena pendekatan BPJS yang masih pasif dalam mengelola kepesertaan.
“Kita pernah melihat kasus penonaktifan 7,3 juta peserta PBI JKN karena tidak tercatat dalam DTKS. Banyak warga baru mengetahui status mereka nonaktif saat hendak berobat, dan itu jelas merugikan,” ujarnya.
Robert menilai, BPJS harus lebih persuasif dalam melakukan reaktivasi kepesertaan, agar hak masyarakat atas pelayanan kesehatan tidak hilang hanya karena ketidaktahuan administrasi.
Selain soal kepesertaan, Robert juga meminta pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan ketersediaan serta peningkatan kualitas fasilitas kesehatan sebelum kebijakan pemutihan dijalankan.
“Selain menyiapkan bantalan pembiayaan jaminan kesehatan, pemerintah juga perlu menjamin bahwa fasilitas kesehatan mematuhi regulasi dan memprioritaskan mutu pelayanan. Setelah itu, barulah penyelesaian administratif dilakukan,” jelasnya.
Robert menegaskan bahwa kebijakan pemutihan tunggakan iuran ini merupakan bentuk nyata kehadiran negara dalam memperkuat sistem perlindungan sosial. Ia berharap implementasi kebijakan ini benar-benar tepat sasaran agar mampu meringankan beban masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam mengakses layanan kesehatan yang layak dan merata.
“Pemutihan ini bukan hanya solusi administratif, tetapi wujud tanggung jawab negara untuk menghadirkan keadilan sosial dalam pelayanan kesehatan,” tuturnya.
Di akhir keterangannya, Robert mengimbau masyarakat untuk aktif melaporkan dugaan maladministrasi dalam pelayanan BPJS Kesehatan melalui kanal resmi Ombudsman RI, baik di kantor pusat maupun 34 kantor perwakilan di seluruh Indonesia.
“Kami mengajak masyarakat melapor jika menemukan pelayanan jaminan sosial yang tidak sesuai prosedur. Ombudsman hadir untuk memastikan hak publik terlindungi,” pungkasnya. (Ant)