Toraja, Kaltimnow.id – Eksekusi perobohan kompleks Tongkonan Ka’pun di Kelurahan Ratte Kurra, Kecamatan Kurra, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, berlangsung pada Jumat (5/12) dan memicu gelombang penolakan dari keluarga adat maupun publik yang menilai warisan budaya Toraja kembali terancam.
Proses eksekusi yang disebut sebagai tindak lanjut putusan pengadilan ini melibatkan aparat gabungan dan menyasar 6 alang (lumbung padi), 3 tongkonan, serta 2 rumah semi permanen. Salah satu bangunan yang dirobohkan disebut berumur lebih dari 300 tahun, menjadi pusat sejarah dan identitas keluarga besar Ka’pun.
Saat aparat mulai melakukan pembongkaran, keluarga Tongkonan Ka’pun berusaha menghalangi jalannya eksekusi.
“Ada perlawanan tetapi dapat diatasi,” ujar Kabag Ops Polres Tana Toraja AKP Yulianus Tedang kepada CNNIndonesia.com.
Ia membantah kabar bahwa warga terluka karena penembakan peluru karet.
“Tidak ada pemakaian senjata. Kami menggunakan SOP protap yang ada,” katanya.
Yulianus juga menyatakan isu penggunaan peluru karet berasal dari pihak yang “tidak bertanggung jawab,” dan menegaskan bahwa aparat tak membawa senjata api saat pengamanan. Namun ia mengakui pemakaian gas air mata.
“Kalau gas air mata ada dan itu standar dan tidak merusak kesehatan,” ujarnya.
Dalam insiden tersebut, dua warga yang menolak eksekusi sempat ditahan namun kemudian dilepaskan.
Di media sosial, publik mengecam tindakan perobohan tongkonan yang dianggap sebagai salah satu warisan arsitektur dan sejarah paling penting di Toraja. Warganet menyoroti kabar belasan warga yang terluka serta penggunaan gas air mata yang disebut sudah kedaluwarsa. Mereka juga mempertanyakan sikap pemerintah daerah dan DPRD Tana Toraja yang dinilai tidak menunjukkan pembelaan terhadap situs budaya.
Peristiwa ini semakin memicu diskusi luas mengenai lemahnya perlindungan hukum bagi tongkonan, yang bukan hanya rumah adat, namun juga pusat spiritual, identitas garis keturunan, dan penanda sejarah komunitas Toraja. (Ant)












