Komentar soal Tambang Tumpang Pitu, Guru Honorer di Banyuwangi Jalani BAP

Banyuwangi, Kaltimnow.id — Seorang guru honorer di SD Negeri 2 Penganjuran, Banyuwangi, Lia Winarso, menjadi sorotan publik setelah menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) menyusul komentar singkatnya di media sosial yang menyinggung tambang emas Tumpang Pitu.

Peristiwa ini bermula pada awal Desember 2025, ketika Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani mengunggah konten di akun Instagram pribadinya terkait capaian dan penghargaan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi serta isu pembangunan daerah.

Pada kolom komentar unggahan tersebut, Lia Winarso melalui akun pribadinya @layla.23r menuliskan pertanyaan singkat, “Tambang emas Tumpang Pitu gimana bu Ipuk.”

Lia menjelaskan, komentar tersebut disampaikan sebagai bentuk pertanyaan warga terkait isu lingkungan yang selama ini menjadi perhatian publik. Ia menegaskan tidak memiliki niat menyerang pribadi kepala daerah maupun institusi tempatnya bekerja.

Beberapa hari setelah komentar itu diunggah, Lia dipanggil oleh Dinas Pendidikan Banyuwangi. Pada 9 Desember 2025, ia diminta menjalani proses BAP atas dugaan pelanggaran disiplin. Pemeriksaan tersebut turut melibatkan kepala sekolah SD Negeri 2 Penganjuran.

Proses BAP terhadap Lia menjadi sorotan karena disebut menggunakan aturan disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), sementara Lia berstatus guru honorer, bukan ASN atau PNS. Bahkan, Lia diketahui belum tercatat dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik).

Lia mengaku terkejut karena tidak menyangka komentar di akun media sosial pribadinya dapat berujung pada pemeriksaan formal.

“Saya hanya bertanya sebagai warga masyarakat, tidak ada niat untuk menjelekkan institusi sekolah. Saya kaget kenapa ini sampai dibawa ke ranah BAP, padahal itu akun pribadi saya dan saya menyampaikan aspirasi terkait lingkungan,” ujar Lia, dikutip dari akun Instagram @_thinksmart.id.

Pada 12 Desember 2025, seorang aktivis bernama Raden menilai pemeriksaan tersebut sebagai langkah yang keliru. Menurutnya, penerapan aturan disiplin PNS terhadap tenaga honorer tidak tepat dan berpotensi membatasi ruang kritik masyarakat, khususnya terkait isu lingkungan dan pertambangan.

Kasus ini pun memicu perhatian luas di media sosial dan memunculkan perdebatan publik mengenai kebebasan berpendapat, perlindungan tenaga honorer, serta batasan ekspresi warga di ruang digital. (Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *