Jakarta, Kaltimnow.id – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 25 kasus bunuh diri pada anak sepanjang Januari–Oktober 2025. Angka ini menunjukkan penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya, yakni 43 kasus pada 2024 dan 46 kasus pada 2023.
Meski menurun, sejumlah insiden belakangan, termasuk di Sawahlunto (Sumbar) dan Sukabumi (Jabar), menjadi pengingat bahwa masalah kesehatan mental anak masih serius.
Komisioner KPAI Aris Adi Leksono menyebut setiap kasus bunuh diri mencerminkan lemahnya deteksi dini terhadap tanda-tanda gangguan psikologis baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga.
“KPAI mendorong seluruh pihak untuk membangun early warning system yang efektif di sekolah dan komunitas. Anak yang menunjukkan perubahan perilaku, penurunan semangat belajar, atau tanda-tanda stres berat harus segera mendapat perhatian dan pendampingan psikologis sejak awal,” ujarnya, Selasa (4/10).
KPAI Dorong Penguatan Sistem Deteksi Dini
Untuk mencegah kasus serupa, KPAI menyerukan sejumlah langkah strategis yang harus diintegrasikan pemerintah daerah dan sekolah:
Penguatan peran Guru BK agar lebih proaktif memantau kondisi sosial-emosional siswa.
Pelatihan guru dan peer counselor untuk mengenali gejala depresi, stres, dan perilaku menarik diri.
Koordinasi berlapis antara sekolah, puskesmas, dan dinas terkait saat mendeteksi anak berisiko tinggi.
Pemanfaatan data presensi, perilaku, dan interaksi sosial siswa sebagai indikator awal kesejahteraan mental.
Aris menekankan bahwa intervensi cepat dan empatik merupakan kunci pencegahan.
Dukungan awal harus diberikan melalui psikolog sekolah atau tenaga kesehatan mental puskesmas, segera setelah muncul tanda-tanda risiko.
Keterlibatan keluarga juga sangat penting, termasuk lewat komunikasi positif dan penguatan nilai spiritual.
Selain itu, Aris mendorong pembentukan tim krisis psikologis tingkat kabupaten/kota, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan P2TP2A.
Imbauan untuk Orang Tua
KPAI mengingatkan orang tua untuk meningkatkan interaksi emosional dan kualitas waktu bersama anak, menghindari tekanan akademik berlebihan, dan memastikan anak terlindungi dari konten negatif di media sosial.
Aris menegaskan bahwa pencegahan bunuh diri adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pekerjaan psikolog.
“Kita perlu hadir dan mendengar anak-anak kita. Satu percakapan penuh empati dapat menyelamatkan nyawa dan harapan masa depan mereka,” tutupnya. (Ant)











