Jakarta, Kaltimnow.id – Meski menuai gelombang kritik dari sejumlah pihak, proyek penulisan ulang sejarah Indonesia tetap dilanjutkan. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut DPR telah memulai rangkaian uji publik dengan melibatkan berbagai akademisi dari perguruan tinggi negeri (PTN).
“DPR sudah mulai menggelar uji publik di Universitas Andalas, Universitas Diponegoro, dan Universitas Hasanuddin,” ujar Fadli kepada wartawan, Sabtu (5/7/2025).
Ia menambahkan, Kementerian Kebudayaan juga akan menggelar uji publik sendiri dalam waktu dekat. “InsyaAllah dalam bulan Juli ini,” ucapnya tanpa merinci tanggal pelaksanaan.
Namun di tengah proses ini, proyek penulisan ulang sejarah tersebut terus menuai sorotan, terutama setelah pernyataan kontroversial Fadli yang meragukan keberadaan kekerasan seksual terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998.
Dalam sebuah pernyataan sebelumnya, Fadli Zon menyebut bahwa tidak ada bukti adanya pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa saat kerusuhan 1998. Menurutnya, informasi itu lebih bersifat rumor ketimbang fakta sejarah yang tercatat secara akademik.
Pernyataan tersebut langsung memicu kecaman dari berbagai kalangan. Beberapa anggota DPR bahkan ikut menyesalkan pernyataan tersebut, termasuk sejumlah aktivis hak asasi manusia dan mantan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Presiden BJ Habibie.
Sebagaimana diketahui, TGPF telah menyatakan bahwa terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan, selama kerusuhan 1998. Temuan ini juga telah tercatat dalam berbagai dokumen resmi, laporan lembaga independen, serta kesaksian korban.
Mendapat tekanan dari publik, Fadli Zon akhirnya meralat ucapannya. Ia mengakui bahwa kekerasan seksual memang terjadi, namun mempertanyakan apakah istilah “massal” tepat digunakan dalam konteks tersebut. Ia juga menegaskan tidak memiliki niat untuk menghapus fakta sejarah.
“Saya tidak pernah berniat menghilangkan bagian sejarah mana pun. Tujuan kita justru ingin menyusun sejarah secara objektif, berdasar kajian ilmiah,” ujarnya.
Kendati demikian, banyak pihak mendesak agar proses penulisan ulang ini dilakukan secara transparan, melibatkan korban, sejarawan independen, dan lembaga HAM agar sejarah bangsa tidak ditulis ulang secara politis atau sepihak.
Sejumlah pengamat menilai, proyek penulisan ulang sejarah jika tidak disertai komitmen pada transparansi dan kebenaran historis justru berpotensi mengaburkan peristiwa penting dalam perjalanan bangsa, termasuk tragedi kelam yang menyisakan luka bagi banyak warga negara. (Ant)