Samarinda, Kaltimnow.id – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menggeber langkah besar untuk mengejar target nasional penurunan stunting. Dalam Rapat Koordinasi Percepatan Penurunan Stunting di Kantor Gubernur Kaltim, Selasa (18/11/2025), Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji menegaskan bahwa percepatan hanya bisa dicapai jika seluruh daerah menguatkan intervensi spesifik secara masif dan terukur.
Kaltim, kata Seno, masih berada di atas rata-rata nasional. “Kita sempat 22,9 persen, dan kini turun menjadi 22,2 persen. Tapi angka ini masih jauh dari target Presiden Prabowo yang meminta 18,8 persen pada 2025,” ujarnya.
Sebagai Ketua Percepatan Penurunan Stunting Provinsi, Seno menyebut bahwa implementasi menyeluruh program prioritas Gratispol PESUT (Gratis Program Hidup Sehat Stunting) harus menjadi tumpuan untuk mempercepat penurunan stunting di seluruh kabupaten/kota.
Dalam paparannya, Seno mengakui adanya kesenjangan kinerja antarwilayah. Tiga daerah—Kutai Kartanegara, Bontang, dan Samarinda—diapresiasi karena berhasil menekan angka stunting di bawah rata-rata provinsi.
Sebaliknya, Kutai Timur dan Balikpapan menjadi perhatian khusus karena angka stunting yang masih tinggi. “Kerja kita harus menyeluruh. Kalau ada daerah tertinggal, target provinsi akan sulit dicapai,” tegasnya.
Mengacu pada Perpres 72/2021, Seno menekankan dua komponen besar dalam penanganan stunting:
- Intervensi Spesifik (sektor kesehatan): peningkatan gizi ibu hamil, suplementasi remaja putri, ASI eksklusif, imunisasi, hingga penanganan gizi buruk.
- Intervensi Sensitif (lintas sektor): akses air bersih, sanitasi, pendidikan, ketahanan pangan, dan perlindungan sosial.
“Intervensi spesifik ini harus berjalan cepat dan masif. Seluruh OPD harus terjun langsung, tidak bisa setengah-setengah,” katanya.
Seno juga menyinggung persoalan geografis yang menjadi pemicu stunting, khususnya di wilayah pesisir Sungai Mahakam. Penggunaan air baku sungai yang tidak diolah dinilai berpotensi meningkatkan risiko stunting pada anak-anak.
“Kami minta OPD dan SKPD terkait aktif memantau masyarakat di pesisir. Masalah air bersih ini tidak boleh diabaikan,” tegasnya.
Ia mendorong Dinas Kesehatan, DP3A, Dinas Sosial, hingga Baznas memperkuat kolaborasi agar intervensi benar-benar dirasakan keluarga berisiko.
Dalam kesempatan tersebut, Seno juga membuka wacana penyesuaian metode pengukuran prevalensi stunting. Ia menilai pendekatan yang hanya dominan pada anak usia 0–11 bulan tidak cukup menggambarkan kondisi riil.
“Apakah penilaian bisa diperluas? Karena setelah umur lima tahun tidak bisa dihitung sebagai stunting, padahal pertumbuhan manusia berjalan sampai usia 15 tahun,” ujarnya.
Dengan total 39.137 kasus stunting yang masih tercatat di Kaltim, Pemprov menegaskan bahwa tiap daerah wajib menyiapkan peta keluarga berisiko dan peta wilayah prioritas sebagai panduan intervensi di posko-posko lapangan.
Seno optimistis bahwa dengan percepatan dan intervensi lintas sektor yang solid, Kaltim bisa menurunkan prevalensi stunting mendekati atau bahkan menyamai target nasional pada akhir 2025 hingga awal 2026.
“Rakor ini harus menghasilkan langkah konkret, bukan sekadar pertemuan rutin. Dampaknya harus terlihat langsung pada penurunan angka stunting,” pungkasnya. (adv/kmf/tia)












